Laporan Pendahuluan PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) Atau Chronic Obstructive Pulmunary Disease (COPD)

A. Pengertian

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)/ Cronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD) merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson: 2008).

PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).

PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko, seperti banyaknya jumlah perokok, serta pencemaran udara didalam ruangan maupun diluar ruangan (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011).

PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencangkup bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisima dan asma. PPOK merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dyspnea saat beraktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru (Smaltzer & Bare, 2007).

Dengan demikian dapat disimpulkan penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara pada saluran pernafasan yang menimbulkan obstruksi saluran nafas, termasuk didalamnya ialah asma, bronchitis kronik, dan emphysema paru. (Price, Sylvia Anderson, 2008; GOLD, 2009; Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011; Smaltzer & Bare,2007 ).


B. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui, Menurut Muttaqin Arif (2008), penyebab dari PPOK adalah:
1.      1.Kebiasaan merokok, merupakan penyebab utama pada bronchitis dan emfisema.
2.      2.Adanya infeksi: Haemophilus influenza dan streptococcus pneumonia.
3.      3.Polusi oleh zat-zat pereduksi.
4.      4.Faktor keturunan.
5.      Faktor sosial-ekonomi: keadaan lingkungan dan ekonomi yang memburuk.
Pengaruh dari masing – masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.

C. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :

1.         Derajat 0 (berisiko)

Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal

2.         Derajat I (PPOK ringan)

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80% .

3.         Derajat II (PPOK sedang)

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.

4.         Derajat III (PPOK berat)

Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4.Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%

5.         Derajat IV (PPOK sangat berat)

 Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.



D. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe perokok (Smaltzer & Bare, 2007):
1.                  Mempunyai gambaran klinik dominan kearah bronchitis kronis (blue bloater).
2.                  Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

1.                  Kelemahan badan

2.                  Batuk

3.                  Sesak nafas

4.                  Sesak nafas saat aktivitas dan nafas berbunyi

5.                  Mengi atau wheezing

6.                  Ekspirasi yang memanjang

7.                  Batuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut

8.                  Penggunaan obat bantu pernafasan

9.                  Suara nafas melemah

10.              Kadang ditemukan pernapasan paradoksal

11.              Edema kaki, asietas dan jari tabuh.

E. Patofisiologi

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar salurannafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai beratsakit.

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.

Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4, tumuor necrosis factor (TNF),monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive oxygen species(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus.

Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrophil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion super oksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).

Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok.

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK muncul sebagai modifikasi dari respons inflamasi saluran nafas terhadap iritan kronik seperti merokok. Mekanisme untuk menjelaskan inflamasi ini tidak sepenuhnya dimengerti tetapi mungkin terdapat keterlibatan genetik. Pasien bisa mendapatkan PPOK tanpa adanya riwayat merokok, dasar dari respons inflamasi pasien ini tidak diketahui. Stres oksidatif dan penumpukan proteinase pada paru selanjutnya akan mengubah inflamasi paru. Secara bersamaan, mekanisme tersebut menyebabkan karakteristik perubahan patologis pada PPOK. Inflamasi paru menetap setelah memberhentikan merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, walaupun autoantigen dan mikroorganisme persisten juga berperan. Perubahan yang khas pada PPOK dijumpai pada saluran nafas, parenkim paru, dan pembuluh darah paru. Perubahan patologi tersebut meliputi: inflamasi kronik, dengan peningkatan sejumlah sel inflamasi spesifik yang merupakan akibat dari trauma dan perbaikan berulang. Secara umum, inflamasi dan perubahan struktur pada jalan nafas meningkat dengan semakin parahnya   penyakit dan menetap walaupun merokok sudah dihentikan.

F. Pathway
https://www.sekolahstikes.com/2019/07/laporan-pendahuluan-ppok-penyakit-paru.html


G. Komplikasi

Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Grece & Borley (2011), Jackson(2014) dan Padila (2012):
a.         Gagal napasakut atau Acute Respiratory Failure (ARF)
b.         Corpulmonal
c.         Pneumothoraks

H. Pemeriksaan penunjang

1.      Tes Faal Paru

a.              Spirometri (FEV1, FEV1 prediksi, FVC, FEV1/FVC) Obstruksi ditentukan oleh nilai FEV1 prediksi (%) dan atau FEV1/FVC (%). FEV1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
b.             Peak Flow Meter

2.      Radiologi (foto toraks)

Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.

3.        Analisa gas darah

Harus dilakukan bila ada kecurigaan gagal nafas. Pada hipoksemia kronis kadar hemiglobin dapat meningkat.

4.      Mikrobiologi sputum

5.      Computed temography
Dapat memastikan adanya bula emfimatosa


I. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan medis dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:

a.                   Berhenti merokok harus menjadi prioritas.
b.                  Bronkodilator (β-agonis atau antikolinergik) bermanfaat pada 20- 40% kasus.
c.                   Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama >16 jam memperpanjang usia pasien dengan gagal nafas kronis (yaitu pasien dengan PaO2 sebesar 7,3 kPa dan FEV 1 sebesar 1,5 L).
d.                  Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) memberikan manfaat simtomatik yang signifikan pada pasien dengan pnyakit sedang-berat.
e.                   Operasi penurunan volume paru juga bisa memberikan perbaikan dengan meningkatkan elastic recoil sehingga mempertahankan potensi jalan nafas (Davey, 2002).

2.         Penatalaksanaan keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:

a.                   Mempertahankan patensi jalan nafas

b.                  Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas

c.                   Meningkatkan masukan nutrisi

d.                  Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi

e.                   Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan (Doenges, 2000)

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

1.                  Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
2.                  Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian
3.                  Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1.                  Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi udara.
2.                  Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.

3.                  Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.

4.                  Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih controversial.
a.                   Pengelolaan psikosial, terutama ditujukan untuk penyesuaian diri penderita dengan penyakit yang dideritanya.
5.                  Pengobatan simtomatik.

6.                  Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.

7.                  Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.
8.                  Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

a.                   Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b.                  Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif.
c.                   Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani.
d.                  Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.

J. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:

1.      Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkokonstriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/ber kurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2.      Gangguan pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontri ksi dan iritan jalan napas
3.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi
4.      Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan mengatur posisi
5.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen



K. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1
Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkokonstriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/ber kurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.

Kriteria Hasil :
1.                  Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2.                  Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3.                  Mampu mengidentifikasikan dan mencegah  faktor yang dapat menghambat jalan nafas
Intervensi
1.                  Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
2.                  Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.
3.                  Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur
4.                  Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan.
5.                  Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.
6.                  Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.

Diagnosa 2
Gangguan pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontri ksi dan iritan jalan napas

Kriteria Hasil :
1.                  Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2.                  Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan            dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3.                  Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah (sistole 110- 130mmHg dan diastole 70-90mmHg), nad (60- 100x/menit)i, pernafasan (18-24x/menit)

Intervensi
1.                  Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
2.                  Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.
3.                  Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.
4.                  Berikan dorongan penggunaan latihan otot- otot pernapasan jika diharuskan.

Diagnosa 3
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi

Kriteria Hasil :
1.                  Frkuensi nafas normal (16-24x/menit)
2.                  Itmia
3.                  Tidak terdapat disritmia
4.                  Melaporkan penurunan dispnea
5.                  Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi

Intervensi
1.                  Deteksi bronkospasme saat auskultasi .
2.                  Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
3.                  Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan waspada kemungkinan efek sampingnya.
4.                  Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
5.                  Pantau pemberian oksigen

Diagnosa 4
Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan mengatur posisi

Intervensi
1.                  Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.
2.                  Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk melakukan tindakan tersebut.
3.                  Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
4.                  Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
5.                  Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.

Diagnosa 5
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen

Kriteria Hasil
1.                  Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR
2.                  Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri

Intervensi
1.                  Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan
2.                  Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
3.                  Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan.
4.                  Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.
5.                  Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien.
6.                  Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.
7.                  Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
8.                  Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
9.                  Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.

Download LP PPOK atau COPD dalam bentuk word atau sofcopy donwload disini Laporan Pendahuluan PPOK + Askep
DONASI VIA PAYPAL Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain https://www.sekolahstikes.my.id/. Terima kasih.
Postingan Lebih Baru Postingan Lebih Baru Postingan Lama Postingan Lama