Laporan Pendahuluan / LP Fraktur Tibia 1/3 Dextra

 Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Fraktur Tibia 1/3 Dextra

A. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer, 2001).

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari kekuatan tersebut, keadaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Anderson, 2005).

B. Klasifikasi

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Ada lebih dari 150 klasifikasi fraktur. Empat yang utama adalah :
1.      Incomplit
Fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan menyilang tulang.

2.      Komplit
Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat atau bergeser (bergeser dari posisi normal).

3.      Tertutup (simple)
Fraktur tidak meluas dan tidak menyebabkan robekan pada kulit.

4.      Terbuka (compound)
Fragmen tulang meluas melewati otot dan adanya perlukaan di kulit yang terbagi menjadi 3 derajat :

Derajat 1 : luka kurang dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda remuk, fraktur sederhana atau kominutif ringan dan kontaminasi minimal.

Derajat 2 : laserasi lebih dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak, tidak luas, fraktur kominutif sedang, dan kontaminasi sedang.

Derajat 3 : terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas(struktur kulit, otot, dan neurovaskuler) serta kontaminasi derajad tinggi (Mansjoer, 2000).

FrakturTibia adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan maupun kiri akibat pukulan benda keras atau jatuh yang bertumpu pada kaki. Fraktur ini sering terjadi pada anak- anak dan wanita lanjut usia dengan tulang osteoporosis dan tulang lemah yang tak mampu menahan energi akibat jatuh atau benturan benda keras (Henderson, 1998).

C. Etiologi


Penyebab fraktur secara umum disebabkan karena pukulan secara langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot eksterm (Suddart, 2002).

Sedangkan menurut Henderson, (1989) fraktur yang paling sering adalah pergerseran condilius lateralis tibia yang disebabkan oleh pukulan yang membengkokkan sendi lutut dan merobek ligamentum medialis sendi tersebut. Penyebab terjadinya fraktur yang diketahui adalah sebagai berikut :

1.      Trauma langsung ( direct )
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan langsung.


2.      Trauma tidak langsung ( indirect )
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot , contohnya seperti pada olahragawan atau pesenam yang menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya.

3.      Trauma patologis
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteomielitis, osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome, komplikasi kortison / ACTH, osteogenesis imperfecta (gangguan congenital yang mempengaruhi pembentukan osteoblast). Terjadi karena struktur tulang yang lemah dan mudah patah.

D. Manifestasi klinis


Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan berubahan warna.

1.                  Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyartai fraktur merupakan bentuk bidai alami yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar frekmen tulang.

2.                  Setelah terjadi  fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alami ( gerakan luar biasa ) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.

3.                  Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain.
4.                  Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. ( uji krepitus dapat menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat ).
5.                  Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

Tidak semua tanda dan gejala terdapat pada setiap fraktur, pada fraktur linear atau fraktur impaksi (perrmukaan patahan saling berdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, pemeriksaan sinar-x pasien (Smeltzer, 2001).

E. Patofisiologi

Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun.

COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi odem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selaian itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh (Henderson, 1989).


Proses pemulihan fraktur menurut Muttaqin, (2008) meliputi:

1.      Fase inflamasi
Fase inflamasi terjadi segera setalah luka dan berakhir 3-4 hari, dua proses utama yang terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) terjadi akibat fase kontriksi pembuluh darah besar didaerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh trombosit yang menyiapkan matriksfibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Fagositosis merupakan perpindahan sel, leokosit ke daerah interestisial. Tempat ini di tempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama kurang lebih 24 jam setelah cedera. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah akan mempercepat proses penyembuhan. Fase inflamasi juga memerlukan pembuluh darah dan respons seluler yang digunakan untuk mengangkat benda-benda asing dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan hingga pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak.

2.      Fase polifrasi sel
Fase polifrasi yaitu sel-sel berpolifrasi dari lapisan dalam periosteum sekitar lokasi fraktur sel-sel ini menjadi osteoblast, sel ini aktif tumbuh kearah frakmen tulang dan juga terjadi di jaringan sumsum tulang. Fase ini terjadi setelah hari ke-2 paska fraktur.

3.      Fase pembentukan kallus
Pada fase ini osteoblas membentuk tulang lunak (kallus), Tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-garam kalsium pembentuk suatu tulang yang imatur. Jika terlihat massa kallus pada X-ray maka fraktur telah menyatu. Pada fase ini terjadi setelah 6-10 hari setelah fraktur.

4.      Fase konsolidasi
Pada fase ini kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu secara bertahap menjadi tulang mature. Fase ini terjadi pada minggu ke-3-10 setelah fraktur.

5.      Fase remodeling
Pada fase remodeling ini perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan osteoblastik pada tulang serta kallus eksterna secara perlahan-lanan menghilang. Kallus inter mediet berubah menjadi tulang yang kompak dan kallus bagian bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk sumsum. Pada fase remodeling ini dimulai dari minggu ke 8-12 dan berahir sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur.

F. Pathway

https://www.sekolahstikes.com/2019/07/laporan-pendahuluan-lp-fraktur-tibia-13.html


G. Komplikasi


Komplikasi yang terjadi akibat fraktur menurut Mutaqin (2008) yaitu :

1. Komplikasi awal

a.                   Kerusakan arteri. Pecahnya arteri karena trauma dapat di tandai dengan tidak adanya nadi, sianosis pada bagian distal, hematoma melebar dan rasa dingin pada ekstermitas yang disebabkan oleh tindakan darurat splinting, perubahan posisi pada daerah yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.

b.                  Sindrom kompartemen. Merupakan komplikasi yang serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.

c.                   Fat emboli sindrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk kealiran pembuluh darah dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah menurun. Hal tersebut ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, takipenia, dan demam.

d.                  Infeksi. Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma ortopedi, infeksi dimulai pada kulit dan masuk kedalam.

e.                   Nekrosis faskuler. Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu sehingga menyebabkan nekrosis tulang.

f.                   Syok. Terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan oksigenasi menurun. Syok dapat berakibat fatal dalam beberapa hal setelah udema cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani segera.komplikasi lainnya adalah infeksi, tromboemboli yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera.

2.         Komplikasi lanjut

a.                   Delayed union. Adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan untuk anggota gerak atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah. Hal ini juga merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah ke tulang menurun.

b.                  Non-union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak didapatkan konsilidasi sehingga terdapat sendi palsu.

c.                   Mal-union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi terdapat deformitas yang berbentuk anggulasi, vagus/valgus, rotasi, pemendekan.

H. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang fraktur menurut Doenges (1999) :

a.                   Pemeriksaan Rongent
Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi, anterior, posterior lateral.
b.                  CT Scan tulang, fomogram MRI
Untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami kerusakan.

c.                   Arteriogram (bila terjadi kerusakan vasculer)

d.                  Hitung darah kapiler

1.                  HT mungkin meningkat (hema konsentrasi) meningkat atau menurun.
2.                  Kreatinin meningkat, trauma obat, keratin pada ginjal meningkat.

3.                  Kadar Ca kalsium, Hb (Doenges, 1999).

I. Penatalaksanaan


a.       Penatalaksanaan kedaruratan
Segera setelah cedera, klien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berjalan dengan tulang kering yang mengalami fraktur, maka langkah yang penting untuk memobilisasi bagian yang cidera segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera akan dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstermitas harus disangga di bawah dan diatas tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi atau memutar. Gerakan fragmen tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan pendarahan lebih lanjut. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.

b.      Penatalaksanaan fraktur
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi dan ketentuan normal dengan rehabilitasi. Reduksi fraktur (seting tulang) berarti mengembalikan fregmen tulang pada kesejajaran dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Reduksi fraktur harus segera mungkin diberikan untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrari akibat edema dan perdarahan. Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan nafas (airway), proses pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulation), untuk mengetahui apakah terjadi syok atau tidak. Bila dinyatakan tidak ada masalah, lakukan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadi kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di rumah sakit untuk mengetahui berapa lama perjalanan kerumah sakit, jika lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak.

Tindakan pada fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin. Penundaan waktu dapat mengakibatkan komplikasi. Waktu yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam (golden period). Berikan toksoid, Antitetanus Serum (ATS) atau tetanus human globulin. Berikan anti biotik untuk kuman gram positif dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka ( Smeltzer, 2001 ).

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan



1. .  Pengkajian fokus


Pengkajian Pasien Post Op Orif Tibia 1/3  Dextra Doenges (1999)

meliputi :

a. Gejala Sirkulasi

Gejala             : Riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmononal,

penyakit    vascular     perifer    atau     Statis      vascular

(peningkatan resiko pembentu kan thrombus).

b. Integritas Ego

Gejala          : Perasaan cemas, takut, marah, apatis ; faktor-faktor stress

multiple,  misalnya   financial,   hubungan,  gaya    hidup.

Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan /

peka rangsang ; stimulasi simpatis.

c. Makanan / Cairan

Gejala : insufisiensi pancreas / DM, ( Predisposisi untuk hipoglikemia

/     ketoasidosis ) malnutrisi ( termasuk obesitas ) ; membrane mukosa yang kering ( pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi ).

d. Pernapasan

Gejala : infeksi, kondisi yang kronis / batuk, merokok.

e. Keamanan

Gejala : alergi / sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan

;   Defisiensi immune ( peningkatan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan ) ; Munculnya kanker / terapi
kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant / reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic ( efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi ) ; Riwayat transfusi darah / reaksi transfusi. Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.

f. Penyuluhan / Pembelajaran

Gejala : penggunaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, anti inflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alkohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

2.    Diagnosa keperawatan



1.     Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang.
2.     Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal.
3.     Defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan.

4.     Ansietas berhubungan dengan adanya ancaman terhadap konsep diri / citra diri.

5.     Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah.


6.     Resti infeksi berhubungan dengan imflamasi bakteri ke daerah luka (Carpenito, 2006, dan Doenges, 1999).

L.     Intervensi keperawatan


Intervensi keperawatan pada Post Op Orif Tibia 1/3 Dextra menurut Doenges, 1999 yaitu :
1.     Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang.

Tujuan dan Kriteria Hasil : Nyeri dapat berkurang / hilang, pasien

tampak tenang.

intervensi :

1. Lakukan pendekatan pada klien & keluarga

Rasional : hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif

2.  Kaji tingkat intensitas & frekuensi nyeri

Rasional :Tingkat intensitas nyeri dan frekuensi menunjukkan skala nyeri

3. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri

Rasional : Memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri

4. Observasi tanda-tanda vital

5.   Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik

Rasional  : Merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgetik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri

2.     Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktifias perilaku menampakkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktifitas tanpa dibantu koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainnya baik.

Intervensi :

1.   Rencanakan periode istirahat yang cukup

Rasional : mengurangi aktifitas dan energi yang tidak terpakai

2.   Berikan latihan aktifitas secara bertahap

Rasional : tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktifitas secara perlahan dengan menghemat tenaga tujuan yang tepat, mobilisasi dini.

3.   Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan

Rasional : Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali
4.   Setelah latihan dan aktifitas kaji respon pasien

Rasional : menjaga kemungkinan adanya -menjaga kemungkinan adanya abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

3.   Ansietas berhubungan dengan adanya ancaman terhadap konsep diri / citra diri.

Tujuan : klien memiliki rentang respon adaptif

Kriteria hasil : Tampak relaks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat ditangani, mengakui dan mendiskusikan rasa takut, menunjukkan tentang perasaan yang tepat.

Intervensi :

1.   Dorong ekspresi ketakutan / marah

Rasional : Mendefinisikan masalah dan pengaruh pilihan intervensi.
2.   Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah Rasional : Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu
klien melalui penilaian awal juga selama pemulihan.

3.   Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan. Rasional : Memberikan informasi yang jujur tentang apa yang diharapkan membantu klien / orang terdekat menerima situasi lebih evektif.
4.   Dorong penggunaan menejemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi.
Rasional : membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi, dan meningkatkan penigkatan kemampuan koping.
4.      Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengnan mual dan muntah Tujuan : Nutrisi pasien dapat terpenuhi
Kriteria hasil : Makanan masuk, berat badan pasien naik, mual, muntah hilang.
Intervensi:

1.   Berikan makan dalam porsi sedikit tapi sering

Rasional : memberikan asupan nutrisi yang cukup bagi pasien

2.   Sajikan menu yang menarik

Rasional: Menghindari  kebosanan  pasien,  untuh  menambah
ketertarikan dalam mencoba makan yang disajikan.

3.   Pantau pemasukan makanan

Rasional : Mengawasi kebutuhan asupan nutrisi pada pasien

4.   Kolaborasi pemberian suplemen penambah nafsu makan Rasional : kerjasama dalam pengawasan kebutuhan nutrisi pasien selama dirawat di rumah sakit
5.     Resti infeksi berhubungan dengan inflamasi bakteri ke daerah luka Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : lukan kering dan tidak ada tanda infeksi intervensi :
1.      Mengkaji luka pasien

Rasional : mengetahui kondisi luka pasien

2.      Monitor keadaan umum pasien

Rasional : mengetahui tingkat perkembangan keadaan umum

klien.

DONASI VIA PAYPAL Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain https://www.sekolahstikes.my.id/. Terima kasih.
Postingan Lebih Baru Postingan Lebih Baru Postingan Lama Postingan Lama